Ketahanan Pangan selalu menjadi perbincangan sejak zaman Presiden Soekarno hingga Presiden Prabowo Subianto. Presiden Sukarno bahkan pernah menyatakan pentingnya ketahanan pangan dengan mengatakan bahwa “Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka malapetaka; oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner.”
Ketahanan Pangan memiliki dimensi yang kompleks, seperti yang didefinisikan oleh Badan Pangan Dunia (FAO) dan pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan. Menurut FAO, ketahanan pangan adalah “keadaan ketika semua orang, kapan saja, memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi sesuai kebutuhan mereka demi kehidupan yang aktif dan sehat.” Sementara menurut Undang-Undang Pangan, ketahanan pangan adalah “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.”
Ketahanan Pangan meliputi aspek Ketersediaan, Akses, Pemanfaatan, dan Stabilitas.
Andy Utama, pendiri Arista Montana Organic Farm, mendorong pentingnya refleksi atas kedaulatan pangan, kemandirian dalam pangan, serta identitas budaya dalam konteks penyediaan dan pengolahan pangan.
Indonesia tidak bisa dibilang sebagai negara agraris, mengingat ketergantungan yang tinggi pada impor pangan seperti gandum, kedelai, dan beras. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih belum mencapai kedaulatan pangan dan ketahanan pangan yang sejati.
Pada era Orde Baru, Indonesia mencapai swasembada pangan terbatas pada komoditas beras dengan pendekatan Revolusi Hijau. Namun, hal ini menyebabkan ketergantungan yang tinggi pada pupuk kimia, pestisida kimia, dan benih padi hibrida, sehingga mengancam keberlanjutan dan keberagaman pertanian lokal.
Ketahanan Pangan yang didasarkan pada kearifan lokal adalah kunci keberlanjutan. Contoh dari masyarakat adat seperti Suku Baduy di Jawa Barat dan Desa Tenganan Pegringsingan di Bali menunjukkan betapa pentingnya menjaga kelestarian alam dan keberagaman varietas pangan untuk mendukung ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Melalui pembelajaran dari kearifan lokal, kita bisa menciptakan model kebudayaan ketahanan pangan yang sesuai dengan kondisi alam dan masyarakat setempat tanpa merusak alam. Arista Montana akan membangun lumbung padi dengan tatacara masyarakat Baduy sebagai langkah awal untuk mendukung ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Sumber: Ketahanan Pangan, Trisakti, Dan Kearifan Masyarakat Adat
Sumber: Ketahanan Pangan, Trisakti, Dan Kearifan Masyarakat Adat