Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami pelemahan signifikan, mendekati level terendah sejak krisis moneter 1998. Dalam perkembangan ini, Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho menegaskan bahwa situasi saat ini mengingatkan publik pada krisis moneter yang terjadi lebih dari dua dekade yang lalu. Bahkan, dibandingkan dengan kondisi ekonomi Indonesia pada tahun 1998, saat ini dinilai jauh lebih buruk.
Data menunjukkan bahwa pada tahun 1998, ketika nilai tukar rupiah sudah mencapai Rp16.650 per dolar, total utang luar negeri Indonesia hanya sekitar USD 70 miliar atau sekitar Rp1.165 triliun. Sementara pada saat ini, dengan kurs yang sama, utang luar negeri Indonesia sudah mencapai USD 500 miliar, setara dengan Rp8.325 triliun, naik tujuh kali lipat dari sebelumnya. Hal ini menurut Hardjuno, mengindikasikan bahwa nilai tukar rupiah saat ini belum sepenuhnya mencerminkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia dengan jujur.
Hardjuno juga menyoroti tentang holding strategis BUMN, Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang memiliki aset hingga Rp10.000 triliun. Meskipun besarnya aset BUMN tersebut terbilang tinggi, namun jika dibandingkan dengan total utang luar negeri Indonesia saat ini, nilai aset tersebut masih belum cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi secara keseluruhan masih menghadapi tantangan serius yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut.