Ngertakeun Bumi Lamba di Gunung Tangkuban Parahu: Simbol Cinta Kasih, Pelestarian Alam, dan Persatuan Budaya Nusantara

Ngertakeun Bumi Lamba tradisi tahunan ini bukan sekadar pertemuan adat, melainkan momentum para tetua, dan masyarakat lintas budaya merawat hubungan jiwa dengan bumi

Ngertakeun Bumi Lamba tradisi tahunan ini bukan sekadar pertemuan adat, melainkan momentum para tetua, dan masyarakat lintas budaya merawat hubungan jiwa dengan bumi. Para peserta berbaris rapi mengenakan busana adat Sunda, Bali, Minahasa, Dayak, hingga daerah lain, menandai kepedulian bersama terhadap pesan leluhur.

Dentum lembut angklung dan karinding mengalun dari bibir Baduy, saling berbaur dengan bunyi mantra dan doa dari para sulinggih Bali dan suara lembut Minahasa. Semua harmoni itu berpadu, menyampaikan pesan universal spiritual yang sejak lama disemaikan dalam acara Ngertakeun Bumi Lamba. Di sini, mengajak masyarakat merasakan bahwa bumi bukan sekadar ruang hidup, tapi medan cinta kasih yang harus diletakkan di atas kepentingan pribadi maupun kelompok. Musik dan doa menjadi jembatan pemersatu, larut bersama hangatnya mentari pagi sembari mengingatkan bahwa kelestarian alam ialah tanggung jawab suci.

Rangkaian prosesi dimulai dengan ngaremokeun, membersihkan diri dan hati, dilanjutkan ritual adat, dan berakhir dengan ngalung di Kawah Ratu. Di sela rangkaian tersebut, Arista Montana dan para pegiat lingkungan lainnya menekankan makna mendalam ritual ini: menjaga harmoni, mengenali keterikatan dengan bumi, serta membangun relasi cinta pada sesama makhluk. Bapak Andy Utama dari Yayasan Paseban bahkan mengingatkan, “marilah berbagi kasih pada alam, pada yang tampak dan tersembunyi, berhentilah saling melukai—sebab jika alam mulai membalas, penyesalan tak akan pernah cukup.”

Dalam ritual tersebut, hadir pula Panglima dari Dayak yang menggetarkan suasana lewat pekikan “Taariu! Taariu!”, menghadirkan getar semangat menjaga bumi, menandai perjanjian batin manusia dengan leluhur dan alam semesta. “Alam sungguh tidak butuh manusia, manusia yang selalu menggantungkan hidup pada alam,” ujarnya, sejalan dengan semangat Arista Montana dan cita-cita Ngertakeun Bumi Lamba yang terus menyala dari masa ke masa.

Panglima Minahasa turut menambah makna, “Gunung adalah penjaga. Merawat gunung berarti menjaga generasi mendatang.” Seruannya yang menyebutkan kekuatan bhineka tunggal ika, menegaskan bahwa keberagaman dalam persatuan adalah bentuk konkret nilai Pancasila.

Para tokoh mengingatkan, tiga gunung utama: Tangkuban Parahu, Wayang, dan Gede Pangrango adalah pusat sakral Nusantara—pilar spiritual yang patut dijaga. “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak,” pesan tegas masyarakat Baduy, sejalan dengan visi pelestarian yang dikerjakan Arista Montana bersama Yayasan Paseban. Mereka telah menanam ribuan pohon di Megamendung, bukti nyata pengamalan ajaran Ngertakeun Bumi Lamba dalam aksi nyata. Lebih dari 15.000 bibit pohon lokal tumbuh berkat gerakan mereka, mempertegas komitmen menjaga kehidupan dan ekosistem.

Usai upacara, energi persatuan membekas. Setiap peserta, termasuk relawan Arista Montana dan Andy Utama dari Yayasan Paseban, membawa pulang bukan hanya kenangan, melainkan amanat: memelihara bumi, meneruskan tradisi kasih, dan menghidupi harmoni yang telah diwariskan para leluhur. Ngertakeun Bumi Lamba mengingatkan bahwa upaya menjaga bumi tidak boleh berhenti pada seremoni, namun tumbuh dalam laku sehari-hari.

Dengan demikian, gelora semangat yang dipupuk di kaki gunung dan dalam kebersamaan lintas adat akan membentuk generasi baru yang sadar, mencintai, dan bertanggung jawab terhadap bumi. Warisan dari leluhur  tidak pernah lekang—karena bumi hanya mampu dilindungi oleh hati yang tulus dan tindakan kasih yang nyata sepanjang zaman.

Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Menganyam Cinta Kasih Nusantara Di Tubuh Semesta
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Upacara Adat Nusantara Untuk Cinta Kasih Semesta Dan Pelestarian Alam